Seperti diketahui, beberapa imunisasi menimbulkan reaksi tertentu. Nah, imunisasi DPT memiliki reaksi seperti tangan atau kaki pegal-pegal, rewel, kurang nafsu makan, kelelahan, muntah, dan demam. Tapi, reaksi-reaksi tersebut cuma bersifat sementara hingga tak perlu terlalu dikhawatirkan. Kendati demikian, tak urung orang tua cemas juga, terutama yang punya riwayat kejang. Takutnya, si kecil akan mengalami kejang setelah diimunisasi DPT lantaran reaksi demam yang ditimbulkan. Apalagi, asosiasi kedokteran di Amerika pun sempat tak menganjurkan imunisasi DPT diberikan pada bayi yang memiliki bakat kejang atau riwayat kejang di keluarganya.
Tapi sekarang kita boleh berlega hati, Bu-Pak. Soalnya, dari data penelitian terbaru yang dilakukan asosiasi kedokteran di Amerika terungkap, imunisasi DPT sama sekali tak membahayakan bayi/anak yang punya bakat kejang, apalagi yang hanya punya riwayat kejang di keluarganya. Jikapun reaksi demam akibat imunisasi ini menimbulkan efek saraf dalam bentuk kejang, namun kejangnya adalah kejang sederhana yang akan sembuh sendiri atau tak perlu diberikan pengobatan khusus seperti kejang dalam epilepsi. "Kejang sederhana ini tak akan merusak otak atau brain damage. Jadi, bukan merupakan suatu kelainan saraf otak yang permanen tapi hanya bersifat temporer. Lagi pula kejadian ini hanya sedikit, kok," terang Dr. Karel A. Staa dari RS Pondok Indah.
Nah, sudah tak cemas lagi, kan, Bu-Pak?
MENCEGAH 3 PENYAKIT
Seperti diketahui, DPT merupakan salah satu imunisasi wajib buat bayi. Berdasarkan rekomendasi asosiasi kedokteran Amerika, imunisasi DPT diberikan 5 kali; 3 kali di bawah usia satu tahun dan 2 kali di atas satu tahun. DPT I diberikan ketika si kecil usia 2 bulan, DPT II di usia 4 bulan, dan DPT III di usia 6 bulan. Sedangkan yang di atas satu tahun diberikan antara uaia 12-18 bulan dan diulang kembali di usia 4-6 tahun. Di Indonesia, tutur Karel, DPT I diberikan ketika bayi usia 2 bulan, DPT II di usia 3 bulan, dan DPT III usia 4 bulan. "Tapi sama saja, kok." Maksudnya, tak akan ada perbedaan apapun bagi si bayi. Yang penting, tekannya, "DPT I sampai DPT III harus sudah didapat bayi sebelum usia satu tahun."
Adapun tujuan imunisasi DPT, mencegah bayi terkena tiga penyakit, yaitu difteri, pertusis, dan tetanus. Difteri merupakan penyakit menular akut yang disebabkan basil bernama corynebacterium diphtheriae. Ciri-cirinya: penderita mengalami panas, peradangan saluran pernapasan bagian atas, dan ada selaput di tenggorokan. "Difteri juga termasuk golongan penyakit yang ditakuti karena dapat mengakibatkan komplikasi penyakit jantung dan kematian."
Sedangkan pertusis, yang di Indonesia dikenal batuk rejan atau batuk 100 hari, disebabkan bakteri Bordetella pertussis. Penyakit ini membuat penderita mengalami batuk keras secara terus menerus (whooping cough). Akibatnya, ia bisa mengalami gangguan pernapasan dan saraf. "Bila dibiarkan berlarut-larut, pertusis bisa menyebabkan infeksi di paru-paru." Selain itu, karena si penderita mengalami batuk keras yang terus menerus, membuat ada tekanan pada pembuluh darah hingga bisa mengakibatkan kerusakan otak.
Akan halnya tetanus, yaitu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan toksin dari clostridium tetani dan menyerang saraf pusat. Gejalanya, penderita mengalami nyeri ketika mengerutkan otot, terutama kala mengatupkan rahang dan menggerakkan otot leher. Komplikasi penyakit yang dikenal dalam bahasa Inggris sebagai lockjaw ini adalah kematian.
Ih, mengerikan, ya, Bu-Pak. Jangan sampai, deh, si kecil terkena ketiga penyakit ini. Itulah mengapa, ia wajib diimunisasi DPT sekalipun punya bakat kejang.
DPT ACCECULAR
Lagi pula, buat bayi yang punya bakat kejang sebenarnya bisa diberikan vaksinasi DTaP (Diphteria Tetanus and Acellular Pertussis) atau DPT acellular. Bedanya dengan DPT biasa terletak pada antigennya. DPT biasa, antigennya menggunakan seluruh sel pertusis, baik inti maupun kulitnya. "Inilah yang bikin panas, karena antigen pertusis yang disuntikkan memiliki reaksi samping, yaitu demam dan nyeri," terang Karel. Pada DPT acellular, selnya dikupas dan kulitnya dibuang. Jadi, yang diambil hanya kupasannya saja. Walau begitu, kualitasnya sama kuat dengan DPT biasa. Dengan demikian, DPT acellular juga akan menimbulkan reaksi demam, namun hanya sedikit sekali. Sayang, DPT acellular belum masuk secara resmi ke Indonesia. "Kalaupun ada, hanya di rumah sakit besar saja." Namun Karel yakin, dalam waktu dekat, vaksin tersebut akan masuk ke negeri kita.
Tapi tentu kita tak perlu menunggu sampai vaksin tersebut datang ataupun "lari" ke RS besar, ya, Bu-Pak. Toh, reaksi demam yang ditimbulkan DPT biasa cuma efek sementara dan bisa ditanggulangi dengan obat penurun panas yang berfungsi menghilangkan panas sekaligus rasa nyeri. Jadi, dengan obat penurun panas ini, kita bisa mencegah munculnya si "kejang". Itulah mengapa, ingat Karel, jangan lupa membawa obat penurun panas kala membawa si kecil ke dokter untuk imunisasi DPT (baik DPT biasa maupun yang acellular). "Setelah disuntik, langsung berikan obat penurun panasnya." Jangan berikan sebelum si kecil disuntik atau ketika masih di rumah, ya, Bu-Pak, karena tak akan efektif.
JANGAN AMBIL RESIKO
Hal lain yang penting diperhatikan, kejang ada yang sederhana dan berat. Kejang yang tak membahayakan ialah kejang demam. Maksudnya, bila si kecil hanya mengalami kejang jika demam dan ia tak akan mengalami kejang lagi bila demamnya hilang. Nah, kejang jenis ini bukan pantangan untuk imunisasi DPT.
Lain hal bila kejang disebabkan anak punya suatu penyakit semisal epilepsi. "Jangankan saat panas, lagi enggak panas pun, anak epilepsi akan kejang. Apalagi jika dikasih imunisasi yang menimbulkan reaksi panas. Jadi, tak boleh," tutur Karel. Begitu pula bila anak mengalami kelainan saraf yang betul-betul berat atau habis dirawat karena infeksi otak dan yang punya alergi terhadap DPT, "juga tak disarankan mendapatkan imunisasi DPT."
Anak-anak yang demikian, lanjut Karel, hanya mendapatkan imunisasi difteri dan tetanus saja, tanpa pertusis mengingat antigen pertusislah yang menyebabkan panas. Kekebalan akan pertusis diharapkan dapat tumbuh secara alami dalam diri anak. "Seperti anak usia di atas 5 tahun, kan, imunisasi DPT-nya tak menggunakan pertusis lagi, karena diharapkan si anak sudah memiliki kekebalan alami selama kehidupannya yang 5 tahun itu." Pasalnya, selama tahun-tahun tersebut, anak ketemu berbagai penyakit dan badannya membuat reaksi. Jadi, kekebalannya bekerja.
Tapi, kita jangan lantas berpikir, "Ah, nanti dia juga punya antibodi dengan sendirinya, kok.", hingga si kecil tak diimunisasi. Itu namanya ambil risiko. Bila si kecil sampai kena penyakit, kita juga yang repot, kan? Jadi, si kecil tetap harus diimunisasi, ya, Bu-Pak. "Kendati imunisasi tak memproteksi 100 persen, tapi setidaknya komplikasi bisa ditekan," ujar Karel.
Pokoknya, Bu-Pak, si kecil wajib diberi imunisasi!
KONSEP INFORM CONCERN
Perlu diketahui, saat ini dunia kedokteran tengah mengembangkan konsep inform concern. Maksudnya, sebelum memberikan suntikan imunisasi apapun, dokter akan menerangkan dulu informasi yang kita butuhkan dan akan bertanya tentang riwayat kesehatan pasien. "Suntik itu, kan, memasukkan benda tajam ke dalam tubuh seseorang. Tentu kita harus minta ijin dulu, dong, sebelum melakukannya. Dokter pun harus melakukan pemeriksaan fisik dulu, menerangkan kenapa si anak perlu diimunisasi, kegunaannya apa, kemungkinan akibatnya apa saja. Tapi dokter pun harus menegaskan bahwa akibat dari suatu imunisasi tak selalu terjadi. Misal, beberapa persen dari bayi yang disuntik akan menimbulkan reaksi," tutur Karel. Nah, jika inform concern-nya baik, kita, kan, juga puas, ya, Bu-Pak
.