MENGIDAP
skizofrenia atau gangguan jiwa kronis bukanlah akhir dari segalanya. Sejatinya penderita masih dapat hidup normal asal mau mengontrol gejala penyakitnya secara rutin
. Fani Restika, 33, adalah orang dengan gejala skizofrenia (ODS). Sebelumnya dia sempat menolak kenyataan bahwa ia menderita masalah kejiwaan dan menolak upaya pengobatan apa pun selama delapan tahun. Anak kedua ini menuturkan petaka itu berawal pada 1994. Bermula ketika tubuhnya terjatuh ke dalam kolam renang. "Setelah jatuh, telinga saya terus mendengung, tepi saya tetap melanjutkan kuliah," kisah dara tamatan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mengenang.
Peristiwa itu ternyata berimbas fatal. Pelan-pelan kejiwaannya mulai mengalami serentetan gangguan. Fani mengaku seperti masuk ke dunia lain. "Saya merasa ada yang memanggil-manggil." Semenjak itu, dia mulai sering berhalusinasi dan bahkan sempat terpikir kalau keluarganya mempunyai konspirasi jahat terhadapnya. Ketakutan pada keluarganya sendiri sempat membuat Fani melarikan diri dari rumah, bahkan sempat berusaha bunuh diri.
Perubahan sikap Fani lama-lama dirasakan ibunya, Hennie Hendrawatie. Hennie heran belakangan Fani menjadi kian sensitif. Karena prihatin dengan kondisi putrinya, pada 1998 sang ibu membawa Fani ke seorang dokter saraf. Sayang, kondisi emosional Fani tidak kunjung membaik, bahkan setelah hitungan tahun.
Karena tidak tahan melihat kondisi anaknya yang kian parah, Hennie akhirnya membawa Fani ke psikiater sesuai dengan rujukan spesialis saraf yang menangani Fani sebelumnya. Di sini Fanni divonis skizofrenia. Fani mengaku sempat berontak menghadapi kenyataan ini, tapi akhirnya dia pasrah dan mulai melakukan pengobatan rutin pada 2002. Ketidakpatuhannya menggunakan obat sempat membuatnya harus mengalami kekambuhan penyakit sebanyak empat kali.
Pendeknya, berkat kesadarannya menggunakan obat, kondisi Fani sudah mulai kondusif. Kini, Fani bahkan tengah aktif mengajar pelajaran aritmatika di salah satu sekolah, dan ikut aktivitas pengajian dan bisa bersosialisasi dengan baik. Dengan berkaca dari kasus Fani, dr Ashwin Kandow, SpKJ, dari Sanatorium Dharmawangsa mengatakan, "Penyakit skizofrenia itu perlu diobati, bisa diobati, dan harus diobati."
Dalam simposium awam Memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh 10 Oktober lalu, di Jakarta, Sabtu (17/10), Ashwin menerangkan, skizofrenia adalah gangguan fungsi otak yang dipicu ketidakseimbangan zat kimia otak (
neurotransmitter). Gangguan itu bersifat kronis dan kambuhan. Obat-obatan sejatinya bisa membentengi tubuh agar gangguan fungsi otak tidak kambuh. Sejumlah gejala positif yang bisa dicegah dengan obat-obatan kimia modern adalah, waham (timbulnya keyakinan yang tidak realistis tetapi dipertahankan dan diyakini), halusinasi (mendengar suara atau melihat sesuatu). Semenatra itu, gejala negatif yang bisa ditangkal dengan obat adalah penumpulan perasaan, kecenderungan menarik diri, gejala afektif, depresi, cemas, selalu merasa bersalah, tegang, mudah marah, dan gejala agresif seperti gangguan pengendalian impuls seperti gampang melampiaskan kemarahan dengan melempar barang.
Berbeda dengan obat zaman dahulu, obat skizofrenia sekarang, kata Ashwin, sudah dikembangkan melalui studi ilmiah dan berfungsi lebih. Di samping meredakan gejala, obat skizofrenia sekarang juga berfungsi mencegah kekambuhan, menstabilkan fungsi otak sehingga penderita bisa hidup mandiri dan meningkatkan kualitas hidup.
Pengobatan berkelanjutan penting bagi ODS. Hal itu berfungsi mencegah kerusakan sel-sel otak akibat kekambuhan penyakit. Sering munculnya kekambuhan, bakal makin besar merusak sel-sel otak. Alhasil, proses pemulihan akan lebih lama dan lebih sulit, di samping menyebabkan peningkatan dosis obat yang harus digunakan.
Kata Ashwin, penggunaan obat jenis
risperidone dipakai sepanjang masih dibutuhkan agar pasien tidak cepat kambuh dan tidak perlu cemas dengan masalah ketergantungan. Pasalnya, obat skizofrenia bekerja memperbaiki kadar
neurotransmitter otak tanpa menimbulkan ketergantungan."
Ashwin mengakui, rasa jenuh karena lamanya rentang waktu pengobatan kerap menjadi tantangan utama pengobatan skizofrenia. Umumnya pasien sering kali malas dan lupa mengonsumsi obat minum yang harus digunakan harian. Untuk menghindari kebosanan tersebut, lanjut Ashwin, pasien bisa menggunakan
risperidone long-acting injection, sebagai alternatif dari obat
risperidone tipe tablet yang harus ditelan setiap hari.
Risperidone tipe injeksi merupakan obat suntikan antipiskotik generasi baru pertama dan satu-satunya di Indonesia.
Cukup dengan penyuntikan dua minggu sekali, formulasi obat bakal bekerja dalam jangka waktu yang panjang. Lewat sistem pengobatan baru ini, praktis diharapkan adanya peningkatan kepatuhan pasien serta kekambuhan penyakit skizofrenia berkurang.